Minggu, 20 Juni 2010

SAUNG ANGKLUNG MANG UDJO

Wisata di Saung Angklung Mang Udjo PDF Cetak E-mail
Nusantara
Minggu, 30 Agustus 2009 00:02
Saung Angklung Mang Udjo
Bandung - Saung Angklung Mang Udjo adalah suatu tempat dimana kita bisa menikmati musik angklung tanpa terkesan kuno dan jenuh. Uniknya, tempat ini tidak pernah sepi, Ini terlihat dengan banyaknya turis asing dan turis lokal yang berkunjung disana.

Ramai dan penuh canda adalah suasana di saung Angklung Mang Udjo dikawasan Pada Suka Bandung, Jawa Barat kalau akhir pekan tiba. Mereka ingin menghibur diri dengan mendengarkan alunan musik bambu yang terketuk dari untaian lagu dan irama yang teratur.

Para pengunjung yang hadirpun tidak berasal dari satu kalangan tertentu saja. Banyak anak-anak, remaja sampai orangtua, dari dalam dan luar negeri, turut hanyut dalam langgam irama angklung.

Dengan rata-rata dua sampai tiga kali pertunjukkan tiap hari dengan durasi sekitar 2 jam, penonton di saung angklung ini dibikin hanyut dalam suasana parahyangan. Ada tarian, permainan musik bambu sampai wayang golek.

Kalau umumnya pentas wayang golek bisa berjam-jam, disini hanya dimainkan selama beberapa menit. Tapi tetap menampilkan wayang yang penuh aksi.

Saung Angklung Mang Udjo didirikan tahun 1967 oleh Udjo Ngalagena dan istrinya Uum Sumiati. Tempat ini bisa dibilang sudah menjadi salah satu obyek wisata budaya khas Jawa Barat yang cukup digemari sebagai tempat apresiasi seni dan hiburan bagi keluarga.

Alunan musik dari bambu yang dimainkan anak-anak asuhan Sanggar Mang Udjo akan membuat para penonton bisa terhibur. Apalagi lagu yang dimainkan selain lagu daerah juga lagu yang banyak dikenal, baik oleh kita maupun turis mancanegara.

Main angklung bersama adalah salah satu acara yang paling ditunggu-tunggu. Pengunjung yang datang bukan hanya penasaran untuk sekedar melihat pertunjukkan Desa Mang Udjo saja. Mereka yang datang ke sini banyak juga yang ingin sekedar bernostalgia kembali ke masa lalu.

Seperti Philip, turis asal Belanda yang waktu kecil pernah tinggal di Bandung. Menurutnya, bermain angklung susah-susah gampang. Di sini, katanya, kita tinggal lihat tanda dari dirgen untuk mengoyangkan angklung kita. Dengan bentuknya yang kelihatan sederhana, angklung bisa dikombinasikan dengan berbagai alat musik lain seperti perkusi, gitar sampai drum.

Lagu yang dimainkan tidak saja hanya berupa lagu daerah jawa barat atau daerah lain. Angklung ternyata di sini juga diperagakan dengan ragam lagu dari klasik sampai pop. Desa Angklung Mang Udjo dengan keramahan dan hiburannya bisa membikin kita bangga jadi orang Indonesia dan turut serta melestarikannya.

Sabtu, 19 Juni 2010

KEBUDAYAAN SUNDA HAMPIR PUNAH..!!

Kintunan Ti Kang Kumkum Hanum

Oray-orayan luar leor mapay sawa
Entong ka sawah parena keur sedeng beukah
Oray-orayan luar leor mapay sawah,
Entong ka sawah parena keur sedeng beukah,
Mending ge teuleum,
Di leuwi loba nu mandi,
Saha nu mandi,
Anu mandina pandeuri……….
Kok…….kok………kok…….


Sebuah entitas kebudayaan, menurut Toynbee, mengalami kehancuran karena tidak mampu lagi merespon tantangan-tantangan(challenges) zamannya. Sebagai seorang fungsionalis, Toynbee melihat kebudayaan dalam perspektif fungsional yaitu sejauh manakah kebudayaan sebuah masyarakat fungsional terhadap lingkungannya. Kebudayaan yang tidak fungsional akan mengalami krisis, terseret ke pojok-pojok sejarah dan suatu saat akan menghilang dari pusaran peradaban. Di zaman modern, tantangan serius yang menerjang daya survival entitas sebuah kebudayaan, terutama local culture –seperti kebudayaan Sunda– adalah proses modernisasi dan globalisasi. Selain kemampuan merespon tantangan zaman, survivalitas kebudayaan juga sangat ditentukan oleh daya fungsionalnya terhadap masyarakat. Dalam proses modernisasi yang makin gencar dan globalisasi yang makin kuat dan meraksasa, kebudayaan Sunda menghadapi problem yang sangat berat yaitu terseret ke dalam proses kepunahan. Bukan mustahil suatu saat akan menghilang dari khazanah kebudayaan dunia. Gejala-gejala ke arah itu tampak terus semakin menguat seperti saya uraikan panjang lebar berikut ini.


Modernisasi dan globalisasi telah menggeser kebudayaan lokal pribumi ke pinggiran budaya dan ke pojok-pojok memori kolektif masyarakat. Di satu sisi, rasionalisasi dan perkembangan iptek telah memodernisasikan kehidupan orang Sunda dan mempermudah kehidupan mereka. Tetapi resikonya pun sangat besar yaitu hancurnya pranata-pranata sosial, institusi-institusi keagamaan dan memudarnya tradisionalisme kesundaan. Ambillah sebuah contoh. Diantara identitas tradisional kesundaan yang sudah hilang misalnya adalah Kaulinan Sunda (bermacam jenis permainan khas masyarakat Sunda). Gatrik, galah, perang gobang, rerebonan, bancakan, ucing sumput, oray-orayan, bebeletokan, sorodot gaplok, sondah, perepet jengkol, beklen dan lain-lain kini hilang dilindas kebudayaan pop (pop culture) seperti ulang tahun, pesta, televisi, bioskop, VCD, mejeng di Mall, disco dan bahkan narkoba. Teknologi canggih telah menghapus khazanah kaulinan itu dan menggantikannya dengan komputer, video game, CD game dan play station. Permainan tradisional hasil kreatifitas masyarakat Sunda baheula yang dekat dengan alam dan sangat mengasyikan ketika dimainkan kini sulit ditemukan dimainkan oleh anak-anak Sunda. Kaulinan itu semua kini hanya tinggal kenangan orang-orang dewasa dan orang tua. Anak-anak sekarang –kecuali sedikit di wilayah pedesaan-pedesaan tertentu– bisa dipastikan tidak mengenal lagi khazanah permainan itu.
a
Kesenian, musik-musik tradisional dan pertunjukkan-pertunjukkan hiburan Sunda juga bernasib serupa. Reog, calung, angklung, arumba, kacapi suling, wayang, kuda lumping dan lain-lain memang masih ditemukan dalam acara-acara seremonial tertentu seperti perkawinan, sunatan, agustusan, syukuran, penyambutan pejabat dll. Tapi, tampaknya tak sulit disepakati bahwa intensitas hadirnya kesenian-kesenian itu semakin jarang dan terus berkurang. Kalau tidak ada “the saviour” dalang Asep Sunarya yang telah mereformasi wayang jauh sebelum reformasi Orde Baru, mungkin wayang sekarang sudah semakin tidak populer ditinggalkan masyarakat Sunda modern. Asep Sunarya telah menyisakan minat orang Sunda modern pada wayang pada aspek-aspek bodornya terutama pada tokoh si Cepotnya. Tapi reformasi seperti dalam wayang tidak terjadi dalam kesenian yang lain. Kesenian lawak Sunda seperti reog, calung dan angklung semakin terpojok kepinggiran dan kini sedang menghilang karena tak mampu bersaing dengan kelompok-kelompok lawak kemasan modern yang muncul di televisi. Beberapa kesenian Sunda tradisional sudah punah duluan seperti sisindiran dan gondang. Sisindiran, calung dan angklung masih ditemukan sekali-sekali ditayangkan TVRI Bandung, tapi penampilan acara-acara tradisional di TV tak lain hanya sebagai komoditi pariwisata yang kemunculannya karena pesanan, rekayasa, dan formalitas.

Visualisasi itu sendiri sesungguhnya sudah merupakan the formed reality (realitas bentukan) yang ketika ditonton statusnya bukan lagi a living reality (realitas sungguhan) yang inherent menjadi bagian dari aktivitas kesenian masyarakat Sunda sehari-hari. Hal itu terjadi karena daya fungsional dari kaulinan, seni dan musik Sunda tersebut semakin berkurang dan kehilangan relevansinya. Kebudayaan Sunda telah kalah dalam kompetisi menciptakan addictive game dengan permainan-permainan modern. Dengan kata lain, tradisionalisme Sunda tidak sanggup membuat dirinya tetap dirasakan fungsional. “Kehilangan fungsi” itu dimungkinkan karena kebudayaan Sunda tidak mampu mengejar dan memenuhi citra masyarakat Sunda yang telah tertransformasikan oleh proses modernisasi. Modernisasi telah menyebabkan perubahan-perubahan dalam masyarakat termasuk perubahan dalam hal citra dan selera. Citra dan selera modern urang Sunda yang telah berubah ini tidak lagi ditemukan dalam kebudayaan Sunda tradisional yang kini sedang mengalami kepunahan itu. Citra dan selera modern (Barat) itu kini ditemukan dalam pop culture seperti disuguhkan acara-acara televisi: nge-fans kepada kelompok-kelompok band musiman, film-film, telenovela, MTV, acara-acara gosip artis dan pemujaan gaya hidup selebritis, yaitu gaya hidup rubbish (sampah) yang banyak dipuja para remaja ABG yang tidak dididik pendirian dan keyakinannya.


Lunturnya Penggunaan Bahasa Sunda
Sudah menjadi cerita lama bahwa bahasa Sunda adalah diantara pelajaran yang tidak menarik dan dianggap “kurang penting” bagi siswa-siswa di sekolah-sekolah. Undak-usuk membuat pelajaran bahasa Sunda sulit dikuasai. Minat para siswa dan generasi muda pada umumnya terus berkurang. Karena problematika ini sudah berjalan beberapa generasi, maka yang dirasakan kini adalah semakin langkanya guru bahasa Sunda yang qualified. Sastrawan Sunda apalagi. Kita hanya mengenal sedikit tokoh seperti Rustandi Kartakusumah, Wahyu Wibisana, Ki Umbara, Apip Mustopa, Ajip Rosidi, Ningrum Julaeha, Usep Romli HM, Min Resmana, Hidayat Suryadilaga dll. Sebagian usianya sudah pada tua dan sebagian lagi sudah meninggal dunia. Memang kini bermunculan sastrawan-sastrawan muda seperti Godi Suwarna, Cecep Burdansah, Tatang Soemarsono, Darpan Ariawinangun, Budy Rahayu Tamsah, Usman Supedi dll tetapi jumlah itu masih jauh dari harapan.

Di daerah-daerah urban, lingkungan masyarakat terdidik dan kelas menengah di Jawa Barat, tumbuh subur dewasa ini suatu proses desundanisasi bahasa, yaitu suatu kecenderungan, trend, gaya dan mode dimana keluarga muda Sunda modern tidak menggunakan basa Sunda sebagai bahasa pengantar di lingkungan rumah dan keluarganya (jujur termasuk penulis sendiri sebagai korban). Keluarga Sunda modern tidak berbahasa Sunda kepada anak-anaknya, dan anak-anakya tidak berbahasa Sunda kepada teman-teman mereka. Mereka lebih memilih bahasa Indonesia yang dirasakan lebih modern. Di kalangan keluarga-keluarga muda, ibu dan bapaknya menerapkan panggilan diri oleh anak-anaknya dengan panggilan “papih-mamih,” “papa-mama,” atau “ayah-ibu.” Tentu saja, panggilan-panggilan itu lebih bernuansa modern ketimbang “abah-ambu,” “emih-apih,” “ema-apa,” “abi-umi” atau “indung-bapa.” Penggunaan basa Sunda (terutama yang halus) semakin lama semakin berkurang. Pada lingkungan pergaulan tertentu seperti di hotel, kantor-kantor, pertemuan resmi pesta-pesta dan pertemuan-pertemuan elit lainnya, berbahasa Sunda cenderung dirasakan “kurang modern.” Gejala ini tertangkap misalnya pada ungkapan yang sering terdengar bahwa“lamun urang Jawa ngumpul pasti ngomong Jawa bari teu ngarasa karagok, tapi lamun urang Sunda ngumpul biasana teu ngaromong Sunda lantaran ngarasa era.” Berbahasa Sunda dalam pergaulan resmi sering dirasakan “kurang menasional” dan “asa teu modern.”

Tentu saja ini tidak terjadi pada semua orang Sunda. Saya sendiri adalah orang Sunda yang paling tidak suka berbahasa Indonesia bila ngobrol dengan seseorang yang saya ketahui aslinya orang Sunda, dimanapun saya berada. Ketika dua tahun di Australia (1997-1999), saya “sagulung sagalang” dengan Yudi Latif. Saya tidak berbahasa Indonesia dengan dia, selalu Sunda. Terasa akrab asa jeung dulur. Ada kenangan lucu. Dalam sebuah bursa buku murah di Albert Hall, saya berburu buku-buku second hand dengan Yudi, rebutan paloba-loba. Saat saya bicara ngagorowok padanya memakai bahasa Sunda loma, rupanya ada bule asal Eropa memperhatikan. Karena terdengar aneh, dia penasaran dan bertanya: “Excuse me, can I ask you. What’s language are you talking?” Senang sekali mendapat pertanyaan itu, bahasa saya menarik perhatian orang. Saya jawab saat itu denganheureuy: “Bahasa Sunda belegug!!” Dia celingukan tak mengerti. Yudi ketawa mendengar jawaban saya. Lalu saya jelaskan tentang bahasa Sunda, bahasa daerah asal saya.

Walau tidak semua orang Sunda melupakan bahasanya, tetapi kecenderungan umumnya seperti itu. Di banyak pertokoan, departemen store dan mall-mall di Bandung dan di kota-kota Jawa Barat, penulis sering menyaksikan transaksi antar pembeli dengan pramuniaga atau kasir dengan bahasa yang ironis menusuk telinga:“Mbak-mbak kalau yang ini berapa ya?” atau “Mbak, mbak, kalau bayarnya pake kartu kredit bisa gak?” Atau “Mas, silahkan pilih-pilih, banyak produk baru lho Mas!” Padahal, setelah saya tanya, ternyata mereka yang dialog itu orang Cianjur dengan orang Tasik, orang Bandung dengan orang Garut, Orang Ciamis dengan orang Bogor, Orang Purwakarta dengan orang Subang dan seterusnya. Begitu keselnya, saya sampai sering menegur mereka untuk memakai bahasa Sunda saja. Dalam hati saya hayang neke!! Kesadaran kultural saya mengatakan tidak pantas dan telinga saya berdengung mendengar percakapan antar orang Sunda tapi dengan “Mas” dan “Mbak.” Kita membutuhkan program besar yaitu “Program Sadar Sunda” di masyarakat kita di Jawa Barat.

“Proses kepunahan” bahasa Sunda ini diperkuat oleh struktur basa Sunda sendiri yang feodal. Undak-usuk basa Sunda yang sangat struktural, birokratis dan feodal, rumit dan bertahap-tahap sangat sulit dikuasai oleh orang Sunda dari zaman ke zaman, apalagi oleh generasi muda kini yang terdidik dalam lingkungan pendidikan modern. Undak-usuk sangat bersebrangan dengan arus dan tuntutan demokratisasi dan egalitarianisasi masyarakat. Sopan santun sebagai etika tentu saja harus tetap dipelihara tetapi tidak dibingkai dan distrukturkan dalam semangat feodal. Feodal adalah penghormatan kepada orang karena perbedaan usia dan kedudukan. Undak-usuk perlu direformasi dan konsep sopan santun perlu dirubah dimana penghormatan diberikan bukan hanya karena usia melainkan karena prestasi dan kualitas.

Miskinnya Historiografi Sunda
Alam Sunda adalah alam pegunungan yang subur. Karena kesuburan alamnya ini, mayoritas masyarakat Sunda menyandarkan hidupnya pada usaha bertani di huma. Sebagai petani, mereka menggantungkan nasib sepenuhnya pada kebaikan alam yang memberikan hujan dan panas. Kesuburan alam dan ketergantungan ini, setelah berevolusi beratus-ratus tahun, membentuk suatu sikap mental dan prototipe khas masyarakat agraris yang cenderung pasif, malas, kurang inovatif, kurang kerja keras, kurang bervisi ke depan dan tidak berwawasan global karena alam telah menyediakan, memberikan dan memudahkan segalanya. Eksplanasi logika alam ini menjelaskan sejarah masyarakat Sunda sendiri.

Secara historis, sejarah Sunda –dibandingkan Jawa misalnya– adalah sejarah yang kalah. Kerajaan-kerajaan Sunda seperti Tarumanegara, Galuh, Padjadjaran dan Sumedang Larang, adalah kerajaan-kerajaan lokal dan tidak ekspansionis sehingga tidak memiliki supremasi besar seperti luasnya pengaruh dan banyaknya taklukan kerajaan-kerajaan lain. Kerajaan Sunda adalah taklukan kerajaan Madjapahit, Mataram dan Demak. Identitas asli kebudayaan Sunda pun karam dalam hegemoni kebudayaan yang lebih besar seperti Jawa, Islam dan Barat. Seorang sejarawan Belanda, Hans Kahler, menulis bahwa sejak dikalahkannya Sunda oleh Madjapahit, sejak itu Sunda menghilang dari sejarah dan berganti identitas menjadi Sunda Islam sejak 1526. Kerajaan Sunda Islam seperti Banten dan Cirebon pun tidak pernah menjadi besar dalam artian politik kecuali luasnya pengaruh agama dan perdagangan. Kondisi prihatin ini didukung oleh sangat sedikitnya historiografi Sunda, baik yang ditulis orang Sunda sendiri, apalagi sejarawan asing, terutama bila dibandingkan dengan Jawa. Tampaknya, eksistensi kebudayaan Sunda yang kalah ini kurang menarik minat sejarawan terutama sejarawan asing untuk mengungkap sejarah Sunda, seperti ketertarikan mereka yang luar biasa pada sejarah kebesaran Jawa.

Dalam studi sejarah dan kebudayaan Jawa dikenal nama-nama kondang seperti Raffles, C.C. Berg, H.J De Graaf, Pigeaud, Teeuw, Ben Anderson, Emmerson, Clifford Geertz dll yang telah melahirkan karya-karya master piece-nya tentang Jawa. Karya-karya mereka tersebut kini telah menjadi klasik. Literatur tentang Jawa, berbeda dengan Sunda, karenanya sangat banyak dan mudah didapat. Memang Sartono Kartodirdjo menulis Pemberontakan Petani Banten 1888, Van Dijk menulis sejarah pemberontakan Darul Islam (DI), Karl D. Jackson menulis Traditional Authority, Islam, and Rebellion (1980) tentang Sunda dan pemberontakan DI, Hiroko Horikoshi menulis Ulama dan Perubahan Sosial tentang Pesantren di Garut, sebuah buku yang dimaksudkan untuk mengkonter The Religion of Java-nya Geertz. Yang lainnya, banyak buku-buku tentang sejarah Cirebon dan Banten. Tetapi tampaknya, sumbangan dan stressing buku-buku itu bukan pada kekayaan khazanah budaya Sunda atau mengangkat citra bahwa studi Sunda adalah penting sepenting studi tentang Jawa untuk memahami Indonesia sekarang. Lain kata, buku-buku itu tidak disebut-sebut dan masuk dalam literatur baru studi-studi Sunda, tetapi yang menonjol adalah sumbangannya terhadap studi politik, sosiologi, antropologi dan sejarah lokal di Indonesia.

Miskinnya historiografi Sunda mengandung logika dan pesan historis(ibrah, historical message) bahwa sumbangan kelompok etnis ini pada sejarah dan kebudayaan nasional seolah kecil dan kurang berarti dalam politik dan kebudayaan. Istilah-istilah “kenegaraan” yang diabadikan menjadi istilah-istilah nasional resmi seperti Pancasila, Negara, Bina Graha, Eka Prasetya Pancakarsa, Sapta Marga, Istana, Tut Wuri Handayani, Tri Dharma dan seterusnya dipandang sebagai sumbangan konsep-konsep Jawa dalam kebudayaan politik nasional. Sistem-sistem politik Orde Lama, Orde Baru dan sistem Pancasila yang dibangun atas “faham kekuasaan Jawa” juga menunjukkan sumbangan besar Jawa dalam pemikiran sistem politik kenegaraan Indonesia. Hal ini masih juga ditambah dengan kuantitas orang-orang Jawa yang menjadi pemimpin nasional dibanding orang Sunda.

Apabila sejarah Sunda yang sebenarnya cukup dikenal dan memiliki posisi penting dan identitas yang jelas dalam percaturan sejarah, politik dan kebudayaan nasional di masa lalu hanya terekam sedikit saja oleh historiografi nasional, apalagi sejarah dan kebudayaan Sunda modern yang semakin blur (samar-samar), kehilangan identitas dan jatidiri ditelan modernisasi dan globalisasi. Bila selama ini ada beberapa pernyataan optimis dari para juragan dan inohong Sunda bahwa kebudayaan Sunda akan bertahan dalam proses globalisasi, maka yang dimaksud sebetulnya adalah masih adanya “sisa-sisa” kebudayaan Sunda yang terlihat pada event-event tertentu, atau pada usaha-usaha mempertahankan budaya lewat pertunjukkan-pertunjukkan formal, rembukan-rembukan formal tentang seni, sastra dan kebudayaan Sunda, bukannya merujuk pada kebudayaan riil (nilai-nilai, pandangan hidup, identitas budaya, gaya hidup) yang aktual hidup di tengah-tengah masyarakat.
Dari ketiga contoh kasus tersebut, nampak bahwa kebudayaan Sunda tengah mengalami proses desundanisasi yang dahsyat. Proses ini suatu saat bukan mustahil akan berakibat pada punahnya kebudayaan Sunda di masa mendatang. Kepunahan ini bakal terjadi bila kebudayaan Sunda semakin kehilangan daya fungsionalnya di tengah-tengah masyarakat Sunda kontemporer. Kehilangan daya fungsional budaya ini ditunjukkan oleh sikap dan kenyataan bahwa generasi muda Sunda merasa tidak perlu lagi ber-Sunda untuk hidup di zaman modern ini. Generasi Sunda modern sekarang merasakan kesundaan identikan dengan tradisionalisme dan ketertinggalan. Dengan kata lain, dari perspektif Toynbee-an, kebudayaan Sunda kehilangan elan vital dan daya responnya atas challenge yang dimunculkan oleh proses modernisasi dan globalisasi. Secara fisikal, urang Sunda tentu akan tetap ada menghuni kawasan yang disebut Jawa Barat ini, tetapi secara kultural mereka telah kehilangan jatidirinya sebagai urang Sunda dan tidak lagi mengekspresikan identitas kebudayaannya. Kepunahan budaya bukan hal yang mustahil, maka adalah tugas para inohong, pemikir, pemerintah dan elit Sunda untuk memikirkan suatu strategi budaya agar kebudayaan Sunda bisa tetap bertahan dalam arus perubahan dan tantangan zaman, agar kesundaan tetap identik dengan kemajuan dan kemodernan. Konferensi Internasional Budaya Sunda (KIBS) tahun 2001 yang lalu adalah sebuah langkah awal yang bagus. Langkah-langkah konkret dan strategis lainnya semoga terus bermunculan.
Amin

Situs Bumi Alit Kabuyutan Rumah Adat Sunda yang Sakral

Ditulis oleh Dedi Mulyadi Minggu, 21 Februari 2010 09:03

Bangunan bercat putih yang terbuat dari bilik bambu itu sepintas seperti tidak terurus. Pohon-pohon bambu tinggi, sarang laba-laba, dan guguran daun kering memenuhi jalan setapak menuju bangunan tersebut. Masyarakat di Desa Lebakwangi Batukarut, Kec. Arjasari, Kab. Bandung menyebutnya Situs Bumi Alit Kabuyutan atau rumah adat Sunda. Situs berusia ratusan tahun ini dipercaya memiliki daya magis untuk mengabulkan setiap permohonan bagi siapa saja yang semedi di dalamnya.

Sang juru kunci situs tersebut, H. Enggin Wasya Sasmita (85) menceritakan, di dalam kamar Bumi Alit Kabuyutan terdapat benda-benda pusaka yang memiliki kekuatan gaib, seperti keris, pedang, dan tombak. Benda-benda ini dikeluarkan dan dicuci dengan air kelapa saat Maulid Nabi Muhammad saw. Selain itu, di kamar itu juga sebagai tempat menyimpan berbagai sesaji yang dibawa peziarah.

Setiap malam Kamis dan Senin ada peziarah yang datang untuk bersemedi. Rata-rata mereka datang dengan segala masalah dan kesusahan, seperti masalah rumah tangga, jodoh, atau ingin usahanya lancar. Mereka membawa sesaji berupa kopi pahit, telur ayam kampung, kelapa muda, ketan, dan lain-lain, ungkap Enggin yang menjadi generasi ke-14 untuk menjaga situs tersebut.

Menurut dia, yang datang bersemedi rata-rata berusia 20 sampai 60 tahun, laki-laki dan perempuan. Selama dua hingga empat malam, mereka bersemedi sendiri, tanpa keluar Situs Bumi Alit Kabuyutan. Tidak makan dan minum karena konsentrasi berdoa, salat, dan zikir kepada Sang Khalik agar keinginan hati tercapai.

Ia berpendapat, bersemedi di Situs Bumi Alit Kabuyutan bukanlah kegiatan yang musyrik karena pada intinya mereka memohon kepada Allah SWT, bukan kepada makhluk gaib atau sejenisnya. Benda-benda sesaji yang disyaratkan tersebut memiliki makna filosofis tertentu yang mendukung kegiatan semedi.


Situs Bumi Alit Kabuyutan merupakan cagar budaya yang tidak dijadikan objek wisata. Situs ini tidak dijadikan objek wisata, nanti terlalu ramai dan tidak tertib lagi, dan kesakralannya hilang. Kalau mau semedi saja yang bersangkutan harus puasa dulu dan ada ’permisi’-nya untuk masuk ke dalam rumah.

Ia menjelaskan, situs biasanya ramai saat Mauludan karena ada upacara khusus. Akan tetapi, para peziarah yang ingin bersemedi dapat terus datang. Mereka biasanya tahu dari orang-orang yang pernah datang. Enggin dan masyarakat di Ds. Lebakwangi Batukarut sama-sama menjaga kelestarian situs ini. Kami ingin tetap menjaga nilai-nilai tradisi, budaya, dan seni yang terkandung dalam Situs Bumi Alit Kabuyutan ini. Ini adalah warisan leluhur.

sumber : http://saungdedimlyd.web.id/artikel/sosial-budaya-ekonomi/114-situs-bumi-alit-kabuyutan-rumah-adat-sunda-yang-sakral.html

MACAM MACAM KESENIAN SUNDA

1. Seni Rupa:Arsitektur tradisional sunda banyak menghasilkan bangunan yang dibuat dari kayu seperti misalnyabalai desa,pendopo kabupaten dan tempat menyimpan beras(lumbung)
2. Seni Ukir: Contohnya keraton di Cirebon,lalu selain itu ada wayang kulit dan wayang golek
3. Seni Tari:Tari Klasik
Yang termasuk ke dalam Tari Klasik adalah tari Lenyepan, tari Ponggawa, tari Gawil tarian tersebut termasuk ke dalam tarian Tayuban.
Tari klasik pada mulanya diselenggarakan oleh para bangsawan/menak pada acara hiburan, diiringi gamelan, pesinden dan ronggeng. Tarian ini hanya dibawakan oleh pria yang menggambarkan sikap jantan, luwes, tertib serta sopan sebagaimana para menak
4. Seni Suara Instrumental:eni suara instrumen dalam seni Sunda disebut tatabeuhan (bunyi-bunyian), sedangkan gabungan bermacam-macam instrumen dalam satu unit tertentu yang membentuk ansambel disebut gamelan, contoh gamelan adalah ajeng, degung, goong renteng dan gamelan pelog/salendro.
Alat-alat bunyi tersebut semuanya untuk mengiringi lagu-lagu yang bernada pentatonis dan diatonis.
Nama alat-alat musik tradisional tersebut di antaranya bonang, saron, rebab, gambang, panerus, jenglong, goong, kendang, suling, kacapi, kecrek, calung, angklung, dogdog dan lain-lain.
Bahan yang dipergunakan ada yang terbuat dari logam, perunggu, bambu, kulit, kayu dan sebagainya.
Seni olah instrumen gamelan disebut juga karawitan. Seni karawitan dapat melatih kepekaan perasaan, mempertajam pendengaran adn memperhalus budi pekerti. Dalam kesenian karawitan sebagai pengiring dalam seni pedalangan, pengiring tarian, ilustrasi drama, sandiwara, film dan lain-lain.Seni teater yang di dalamnya terpadu beberapa macam seni, seperti seni vokal, musik, tari, sastra, lukis, rias, ukir.
Beberapa jenis seni teater dimaksud adalah :
Ronggeng Gunung di Ciamis;
Ubrug, topeng dan longser di Bandung;
Bangreng di Sumedang;
Banyet di Karawang.
Doger kontrak di Subang;
Selain itu masih terdapat jenis seni teater lainnya antara lain Sendra Tari, Gending Karesmen dan Sandiwara; bahkan sekarang seni teater ini sudah dikombinasikan/kolaborasikan dengan seni pertunjukan modern yang antara lain dikemas dalam bentuk opera.

Seni wayang :merupakan jenis seni yang paling populer pada masyarakat Jawa Barat terutama dalam bentuk wayang golek; selain wayang golek masih terdapat seni lainnya yaitu wayang kulit, wayang cepak, wayang beber dan wayang orang.
Seni wayang dipergelarkan sejak abad ke 10. Pada jaman tersebut digubah oleh Empu Kanwa dengan judul Arjuna Wiwaha dengan yang berdasar pada babad Mahabarata.
Dalam Prasati Batu Tulis tahun 1533 disebutkan Panca Pandawa yang berarti keluarga Pandawa lima.

sumber : http://dhea.ngeblogs.com/

Sisingaan, Kesenian Tradisional Sunda


Reporter : Yadi Supyandi
Juru Kamera : Nyoman Ifrozim, Warsam Aji
Lokasi : Subang, Jawa Barat
Penyunting Gambar : Punto Wibisono
Tayang : 29 Agustus 2007, Pukul 12.30 WIB




Ini merupakan atraksi kesenian tradisional sisingaan. Sepasang anak berada diatas tandu singa dikawal empat penari, dengan iringan lengkingan terompet dan gendang. Pertunjukan sisingaan ini atraktif dan menghibur.

Kesenian khas budaya Sunda ini dapat ditemukan di Kabupaten Subang, Jawa Barat. Sisingaan merupakan seni pertunjukan rakyat Subang yang masih bertahan. Kesenian rakyat ini dipertunjukan dalam bentuk arak-arakan.

Kesenian ini biasanya ditampilkan pada acara khusus, seperti menyambut tamu agung, perayaan hari ulang tahun kemerdekaan, ataupun acara syukuran dan hajatan warga.

Kali ini atraksi sisingaan ditampilkan di Desa Tambakan Kecamatan Jalan Cagak, Subang, dalam acara khitanan massal. Anak-anak yang akan disunat diarak dengan sisingaan, dengan ditonton ratusan warga.

Menurut Dase, tokoh seni Subang, di kawasan Desa Tambakan ini, sisingaan ditampilkan dalam dua bentuk tampilan yang berbeda. Warga Subang menamakannya sebagai singa pergosi dan singa buhun.

Pada atraksi sisingaan abrug atau singa buhun, hiasan singa terbuat dari rangkaian daun pinus dan kertas, bermotif payung dan hiasan. Sementara sisingaan modern atau pergosi memakai boneka singa yang mirip seperti aslinya.

Namun pada saat tampil tak ada perbedaan, yang mencolok. Gerakan dan atraksi para pengusung singa, menampilkan gerakan yang nyaris sama. Pertunjukan sisingaan diiringi lengkingan suara terompet dan gendang.

Sepasang anak kecil dengan memakai baju adat Sunda dinaikkan keatas sepasang tandu singa, yang diusung empat orang pengarak. Atraksipun dilakukan dengan berputar-putar, ataupun maju mundur.

Gerakan-gerakan semacam jurus-jurus silat ditampilkan dipadu dengan gerakan jaipongan, tarian khas Jawa Barat. Atraksi sisingan memadukan tiga unsur seni utama. Yaitu seni gerak tari atau pencak silat dan jaipongan. Seni suara gamelan kendang dan gong, serta seni busana para pemainnya.

Para pemain sisingaan menampilkan gerak akrobat dan tarian yang atraktif. Berbagai gerakan ini membuat warga yang menyaksikan merasa terhibur. Semua atraksi akrobat ini dilakukan para pemanin yang terlatih tanpa unsur magic.

Di tengah arus modernisasi dan masuknya berbagai budaya asing, sisingaan terap bertahan sebagai seni pertunjukan rakyat di Subang, Jawa Barat. Sisingaan tetap diminati karena atraksinya menarik dan menghibur. (Helmi Azahari/Ijs)
sumber : http://www.indosiar.com/

SEJARAH SUNDA

Saur Kang Yoseph Iskandar : Sejarah Sunda (130 - 1579 M)

* Purwacarita
Pengertian sejarah secara tradisi adalah beberapa kisah dongeng, legenda, babad, tambo dll. Sesungguhnya hal itu berada dibawah disiplin ilmu sastra, sedangkan sejarah, pembuktiannya harus berdasarkan disiplin ilmu : filologi (ilmu yang mempelajari naskah kuna), epigrafi (ilmu yang mempelajari aksara prasasti), arkeologi (ilmu yang mempelajari artefak-artefak peninggalan sejarah), dan geografi (ilmu yang mempelajari permukaan bumi).
Karya sastra bisa diuji dan dikaji oleh disiplin ilmu sejarah sejauh karya sastra yang bernilai sejarah itu dapat menunjang temuan sejarah itu sendiri. Sebaliknya hasil penelitian sejarah dapat disusun menjadi karya sastra yang sering kita sebut roman sejarah. Naskah Pangeran Wangsakerta, menurut Edi S. Ekadjati dan menurut Ayat Rohaedi, adalah naskah sejarah. Sistematika dan pengungkapannya sudah dalam bentuk sejarah, menggunakan referensi atau sumber-sumber tertulis lainnya.
* Purwayuga
Sejarah Sunda dimulai dari masa Purwayuga (jaman purba) atau dari masa Nirleka (silam), yang terbagi atas :
o Prathama Purwayuga (jaman purba pertama), dengan kehidupan manusia hewan Satwapurusa, antara 1 jt s.d. 600 rb th silam
o Dwitiya Purwayuga (jaman purba kedua), dengan kehidupan manusia yaksa, antara 500 rb sampai 300 rb tahun silam
o Tritiya Purwayuga (jaman purba ketiga), dengan kehidupan manusia kerdil (wamana purusa), antara 50 rb sampai 25 rb tahu silam.
* Dukuh Pulasari Pandeglang
o menurut naskah Pangeran Wangsakerta, kehidupan masyarakat Sunda pertama di pesisir barat ujung pulau Jawa, yaitu pesisir Pandeglang. Dipimpin oleh seorang kepala suku (panghulu) Aki Tirem Sang Aki Luhur Mulya. Sistem religi mereka adalah Pitarapuja, yaitu pemuja roh leluhur, dengan bukti sejumlah menhir seperti Sanghiyang Dengdek, Sanghiyang Heuleut, Batu Goong, Batu Cihanjuran, Batu Lingga Banjar, Batu Parigi, dll. Refleksi dukuh Pulasari dapat kita lihat di kehidupan masyarakat Sunda Kanekes (Baduy).
* Salakanagara
o Putri Aki Tirem yaitu Pohaci Larasati, menikah dengan seorang duta niaga dari Palawa (India Selatan) bernama Dewawarman. Ketika Aki Tirem wafat, Dewawarman menggantikannya sebagai penghulu dukuh Pulasari.
o Dewawarman mengembangkan Dukuh Pulasari hingga menjadi kerajaan corak Hindu pertama di Nusantara, yang kemudian diberi nama Salakanagara. Salaka berarti Perak dan Nagara berarti negara atau negeri. Oleh ahli dari Yunani, Claudius Ptolomeus, Salakanagara dicatat sebagai Argyre. Dalam berita China dinasti Han, tercatat pula bahwa raja Yehtiao bernama Tiao-Pien mengirimkan duta keChina tahun 132 M. menurut Ayat Rohaedi, Tiao berarti Dewa, dan Pien berarti Warman.
o Salakanagara didirikan tahun 130 M, dengan raja pertamanya Dewawarman I dengan gelar Prabu Darmalokapala Dewawarman Haji Rakja Gpura Sagara. memerintah hingga tahun 168 M. Wilayahnya meliputi propinsi banten sekarang ditambah Agrabintapura (Gunung Padang Cianjur) dan Apuynusa (Krakatau).
o Raja Terakhir (ke-8) Dewawarman VIII bergelar Prabu Darmawirya Dewawarman (348-363 M).
* Tarumanagara
o Didirikan oleh Jayasingawarman pada 358 M dengan nobat Jayasingawarman Gurudarmapurusa.
o Penerusnya adalah Purnawarman yang memindahkan pusat pemerintahan dari Jayasingapura (mungkin Jasinga) ke tepi kali Gomati (bekasi) yang diberi nama Sundapura (kota Sunda), bergelar Harimau Tarumanagara (Wyagraha ning tarumanagara), dan disebut pula Sang Purandara Saktipurusa (manusia sakti penghancur benteng) dan juga Panji Segala Raja. Sedangkan nama nobatnya adalah Sri Maharaja Purnawarman Sang Iswara Digwijaya Bhimaparakrama Suryamahapurusa Jagatpati.
o Raja terakhir Sang Linggawarman sebagai raja ke-12
* Kerajaan Sunda
o Tarumanagara dirubah namanya menjadi Kerajaan Sunda oleh Tarusbawa, penerus Linggawarman. Akibatnya belahan timur Tarumanagara dengan batas sungai Citarum memerdekakan diri menjadi Kerajaan Galuh
Kerajaan Sunda berlangsung hingga tahun 1482 M, dengan 34 raja.
o Prabu Maharaja Linggabuana dinobatkan menjadi raja di kerajaan Sunda pada 22 februari 1350 M. Ia gugur bersama putrinya, Citraresmi, dalam tragedi Palagan Bubat akibat ulah Mahapatih Gajahmada. Peristiwa itu terjadi pada 4 September 1357 M.
o Mahaprabu Niskala Wastu Kancana menggantikan posisi Linggabuana pada usia 9 tahun. Dia membuat Prasasti Kawali di Sanghiyang Linggahiyang atau Astana Gede Kawali. Dia juga yang membuat filsafat hidup :" Tanjeur na Juritan, Jaya di Buana" (unggul dalam perang, lama hidup di dunia).
o Wastukancana memerintah selama 103 tahun 6 bulan dan 15 hari dalam keadaan damai.
o Sri Baduga Maharaja adalah putra Prabu Dewa Niskala, cucu dari Prabu Wastukancana. Ia adalah pemersatu kerajaan Sunda, ketika Galuh kembali terpisah. Kerajaan ini lebih dikenal dengan sebutan Pajajaran. Dialah raja pertama yang mengadakan perjanjian dengan bangsa Eropa, yaitu Portugis. Ia berkuasa dari tahun 1482 s.d. 1521M.
* Kerajaan Galuh
o Pendirinya adalah Prabu Wretikandayun pada 612 M.
o Prabu Sanjaya Harisdarma. Ia disebut Taraju Jawadwipa, dan sempat menjadi Maharaja di tiga kerajaan : Kalingga - Galuh - Sunda.
o Sang Manarah yang dalam dongeng disebut Ciung Wanara. Ia putera Prabu Premana Dikusumah dari Naganingrum.
* Kerajaan Pajajaran
o Pajajaran adalah sebutan pengganti atas bersatunya kerajaan Galuh dengan kerajaan Sunda, yang dipegang oleh satu penguasa : Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di Pakuan Pajajaran atau Sri Sang Ratu Dewata.
o Penggantinya adalah Prabu Sanghyang Surawisesa, yang berkuasa di belahan barat Jawa barat, karena di sebelah timur sudah berdiri kerajaan Islam Pakungwati Cirebon, yang didirikan oleh Pangeran Cakrabuana atau Haji Abdullah Iman. Dia adalah putra sulung Sri Baduga Maharaja dari Subanglarang yang beragama Islam. Subanglarang adalah murid Syekh Quro Hasanudin Pura Dalem Karawang.
o Tahta kerajaan Pajajaran berlangsung turun-temurun : Ratu Dewata; Ratu Sakti, Prabu Nilakendra dan yang terakhir Prabu Ragamulya Suryakancana.
o Di pihak Cirebon sendiri, putera Susuhunan Jati Cirebon, yaitu Pangeran Sabakingkin, telah berhasil mendirikan kerajaan bercorak Islam Surasowan Wahanten (Banten) dan melakukan beberapa kali penyerbuan ke Pajajaran.
o Pakuan Pajajaran direbut dan dimusnahkan oleh Maulana Yusuf, putra Maulana Hasanudin.
o Pajajaran sirna ing bhumi, atau Pajajaran lenyap dari muka bumi pada tanggal 11 bagian terang bulan wasaka tahun 1511 Saka atau 11 Rabi'ul Awal 978 hijriah atau tanggal 8 mei 1579 M.
o Sebagai tunas-tunas Pajajaran, muncullah 3 kerajaan Islam di tatar Sunda :
+ Kerajaan Islam Pakungwati Cirebon;
+ Kerajaan Islam Surasowan Banten; dan
+ Kerajaan Islam Sumedanglarang.

LAWANG GINTUNG,Sejarah Budaya dan Filosofi

Sampurasun,
LAWANG GINTUNG,Sejarah Budaya dan Filosofi
oleh : R.Lalam Wiranatakusumah
Masyarakat sunda mewarisi peradaban masa lampau yang adi luhung. Yakni peradaban sunda yang diwujudkan dalam berbagai karya budaya utuh. Karya-karya budaya itu memiliki kekhasan tersendiri baik jenis maupun bentuk sebagai warna jati diri masyarakat sunda,yang sudah barang tentu berbeda dengan bentuk,jenis dan warna budaya etnis lainnya.
Namun ditengah hiruk pikuknya budaya gkobal dan carut marutnya kehidupan budaya tradisi masyarakat sunda nyaris kehilangan tatapakan. Seolah budaya sunda tidak lagi punya "wajah".
Jika etnis lain, seperti Jawa,Bali,Minangkabau,dll betul2 memelihara dan dengan berani memperlihatkan wajah karya budaya leluhurnya melalui pelestarian bentuk2 bangunan fisik ( Tata Rupa Arsitek Bangunan ) sebagai bagian dari pembangunan sarana fasilitas umum, mengapa kita ( orang sunda ) lebih bangga dengan karya arsitektur bangsa deungeun.
Budaya adalah merupakan benteng terakhir suatu peadaban,lemahnya eksistensi budaya sunda menandakan lemahnya upaya kita dalam memproteksi budaya sunda. Jika terus menerus dibiarkan bukan tidak mungkin peradaban sunda perlahan makin kian tenggelam tanpa meninggalkan wajah.


LAWANG GINTUNG
Lawang Gintung dalam catatan sejarah pada naskah-naskah kuno, yaitu pintu gerbang memasuki wilayah teritorial negara atau pintu tanda masuk, pura saba pajajaran atau ibu kota negara untuk bisa terus masuk wilayah kadaton suradipati. Keraton Pajajaran bergelar SriBima Punta Narayana Madura Suradipati.Untuk provinsi Jawa Barat yang kita lihat sekarang masih memperlihatkan atau membangun ulang, pintu gerbang atau gapura gaya Mataram sebagai sisa budaya arsitektur jajahan dimana setelah Pajajaran membubarkan diri wilayah Parahiangan atau Pasundan dikuasai Mataram,semua pola arsitektur Pajajaran di bumi hanguskan oleh Demak ( Kerajaan Demak ) dan diteruskan oleh penjajahan Mataram.
Bangunan Lawang Gintung merupakan bagian integritas dari wilayah kadaton Sri Bima Punta Narayana Suradipati berfungsi sebagai gerbang utama memasuki wilayah kedaton atau ibukota kerajaan.
Keraton dan perlengkapannya pertama kali didirikan semasa kepemimpinan Prabu Raja Tarus Bawa ( 669-732 M ) memegang tampuk 2 kerajaan besar yang luasnya meliputi seluruh Jawa Barat dan sebagian Jawa Tengah, sekaligus yakni kerajaan Tarumanegara ( meneruskan Prabu Linggawarman ) dan kerajaan Galuh meneruskan tahta kerajaan dari ayahnya ( Prabu Mandiminyak ) kedua kerajaan besar tersebut berhasil disatukan dengan gelar kerajaan tersebut SUNDA SEMBAWA arsitektur Lawang Gintung memiliki bentuk muka yang sama dengan kadaton kelebihan arsitektur bangunan kadaton begitu juga Lawang Gintungnya, terletak pada bagian suhunan ( ampig dan wuwung ) karena dibuat dengan estetika. Estetika yang kuhung,agung,megah,berwibawa serta sarat akan simbol yang mengandung makna filosofi.
Bentuk suhunan julang ngapak, pada puncak wuwung paling atas terdapat bentuk Cagak Gunting.
Serta ornamen ukiran pada bagian Ampig merupakan simbol-simbol filosofi khas khasanah budaya yang mengandung nilai-nilai spiritual manusia sunda terhadap tuhan,alam, dan sesama manusia. alam dan sesama manusia sebuah sikap spiritual yang integritas.
Bentuk jadi Lawang Gintung ini dapat dilihat dari gedung bandung TV.
Cag

Raden Sekilas Budaya Sunda

Kebudayaan Sunda termasuk salah satu kebudayaan suku bangsa di Indonesia yang berusia tua. Bahkan, dibandingkan dengan kebudayaan Jawa sekalipun, kebudayaan Sunda sebenarnya termasuk kebudayaan yang berusia relatif lebih tua, setidaknya dalam hal pengenalan terhadap budaya tulis. "Kegemilangan" kebudayaan Sunda di masa lalu, khususnya semasa Kerajaan Tarumanegara dan Kerajaan Sunda, dalam perkembangannya kemudian seringkali dijadikan acuan dalam memetakan apa yang dinamakan kebudayaan Sunda.

Kebudayaan Sunda yang ideal pun kemudian sering dikaitkan sebagai kebudayaan raja-raja Sunda atau tokoh yang diidentikkan dengan raja Sunda. Dalam kaitan ini, jadilah sosok Prabu Siliwangi dijadikan sebagai tokoh panutan dan kebanggaan urang Sunda karena dimitoskan sebagai raja Sunda yang berhasil, sekaligus mampu memberikan kesejahteraan kepada rakyatnya.

Dalam perkembangannya yang paling kontemporer, kebudayaan Sunda kini banyak mendapat gugatan kembali. Pertanyaan seputar eksistensi kebudayaan Sunda pun sering kali mencuat ke permukaan. Apakah kebudayaan Sunda masih ada? Kalau masih ada, siapakah pemiliknya? Pertanyaan seputar eksistensi kebudayaan Sunda yang tampaknya provokatif tersebut, bila dikaji dengan tenang sebenarnya merupakan pertanyaan yang wajar-wajar saja. Mengapa demikian? Jawabannya sederhana, karena kebudayaan Sunda dalam kenyataannya saat ini memang seperti kehilangan ruhnya atau setidaknya tidak jelas arah dan tujuannya. Mau dibawa ke mana kebudayaan Sunda tersebut?

Setidaknya ada empat daya hidup yang perlu dicermati dalam kebudayaan Sunda, yaitu, kemampuan beradaptasi, kemampuan mobilitas, kemampuan tumbuh dan berkembang, serta kemampuan regenerasi. Kemampuan beradaptasi kebudayaan Sunda, terutama dalam merespons berbagai tantangan yang muncul, baik dari dalam maupun dari luar, dapat dikatakan memperlihatkan tampilan yang kurang begitu menggembirakan. Bahkan, kebudayaan Sunda seperti tidak memiliki daya hidup manakala berhadapan dengan tantangan dari luar.

Akibatnya, tidaklah mengherankan bila semakin lama semakin banyak unsur kebudayaan Sunda yang tergilas oleh kebudayaan asing. Sebagai contoh paling jelas, bahasa Sunda yang merupakan bahasa komunitas urang Sunda tampak secara eksplisit semakin jarang digunakan oleh pemiliknya sendiri, khususnya para generasi muda Sunda. Lebih memprihatinkan lagi, menggunakan bahasa Sunda dalam komunikasi sehari-hari terkadang diidentikkan dengan "keterbelakangan", untuk tidak mengatakan primitif. Akibatnya, timbul rasa gengsi pada urang Sunda untuk menggunakan bahasa Sunda dalam pergaulannya sehari-hari. Bahkan, rasa "gengsi" ini terkadang ditemukan pula pada mereka yang sebenarnya merupakan pakar di bidang bahasa Sunda, termasuk untuk sekadar mengakui bahwa dirinya adalah pakar atau berlatar belakang keahlian di bidang bahasa Sunda.

Apabila kemampuan beradaptasi kebudayaan Sunda memperlihatkan tampilan yang kurang begitu menggembirakan, hal itu sejalan pula dengan kemampuan mobilitasnya. Kemampuan kebudayaan Sunda untuk melakukan mobilitas, baik vertikal maupun horizontal, dapat dikatakan sangat lemah. Oleh karenanya, jangankan di luar komunitas Sunda, di dalam komunitas Sunda sendiri, kebudayaan Sunda seringkali menjadi asing. Meskipun ada unsur kebudayaan Sunda yang memperlihatkan kemampuan untuk bermobilitas, baik secara horizontal maupun vertikal, secara umum kemampuan kebudayaan Sunda untuk bermobilitas dapat dikatakan masih rendah sehingga kebudayaan Sunda tidak saja tampak jalan di tempat tetapi juga berjalan mundur.

Berkaitan erat dengan dua kemampuan terdahulu, kemampuan tumbuh dan berkembang kebudayaan Sunda juga dapat dikatakan memperlihatkan tampilan yang tidak kalah memprihatinkan. Jangankan berbicara paradigma-paradigma baru, iktikad untuk melestarikan apa yang telah dimiliki saja dapat dikatakan sangat lemah. Dalam hal folklor misalnya, menjadi sebuah pertanyaan besar, komunitas Sunda yang sebenarnya kaya dengan folklor, seberapa jauh telah berupaya untuk tetap melestarikan folklor tersebut agar tetap "membumi" dengan masyarakat Sunda.

Kalaulah upaya untuk "membumikan" harta pusaka saja tidak ada bisa dipastikan paradigma baru untuk membuat folklor tersebut agar sanggup berkompetisi dengan kebudayaan luar pun bisa jadi hampir tidak ada atau bahkan mungkin, belum pernah terpikirkan sama sekali. Biarlah folklor tersebut menjadi kenangan masa lalu urang Sunda dan biarkanlah folklor tersebut ikut terkubur selamanya bersama para pendukungnya, begitulah barangkali ucap urang Sunda yang tidak berdaya dalam merawat dan memberdayakan warisan leluhurnya.

Berkenaan dengan kemampuan regenerasi, kebudayaan Sunda pun tampaknya kurang membuka ruang bagi terjadinya proses tersebut, untuk tidak mengatakan anti regenerasi. Budaya "kumaha akang", "teu langkung akang", "mangga tipayun", yang demikian kental melingkupi kehidupan sehari-hari urang Sunda dapat dikatakan menjadi salah satu penyebab rentannya budaya Sunda dalam proses regenerasi. Akibatnya, jadilah budaya Sunda gagap dengan regenerasi.

Generasi-generasi baru urang Sunda seperti tidak diberi ruang terbuka untuk berkompetisi dengan sehat, hanya karena kentalnya senioritas serta "terlalu majunya" pemikiran para generasi baru, yang seringkali bertentangan dengan pakem-pakem yang dimiliki generasi sebelumnya. Akibatnya, tidaklah mengherankan bila proses alih generasi dalam berbagai bidang pun berjalan dengan tersendat-sendat.

Bila pengamatan terhadap daya hidup kebudayaan Sunda melahirkan temuan-temuan yang cukup memprihatinkan, hal yang sama juga terjadi manakala tiga mustika mutu hidup kreasi Rendra digunakan untuk menjelajahi Kebudayaan Sunda, baik itu mustika tanggung jawab terhadap kewajiban, mustika idealisme maupun mustika spontanitas. Lemahnya tanggung jawab terhadap kewajiban tidak saja diakibatkan oleh minimnya ruang-ruang serta kebebasan untuk melaksanakan kewaijiban secara total dan bertanggung jawab tetapi juga oleh lemahnya kapasitas dalam melaksanakan suatu kewajiban.

Hedonisme yang kini melanda Kebudayaan Sunda telah mampu menggeser parameter dalam melaksanakan suatu kewajiban. Untuk melaksanakan suatu kewajiban tidak lagi didasarkan atas tanggung jawab yang dimilikinya, tetapi lebih didasarkan atas seberapa besar materi yang akan diperolehnya apabila suatu kewajiban dilaksanakan. Bila ukuran kewajiban saja sudah bergeser pada hal-hal yang bersifat materi, janganlah berharap bahwa di dalamnya masih ada apa yang disebut mustika idealisme. Para hedonis dengan kekuatan materi yang dimilikinya, sengaja atau tidak sengaja, semakin memupuskan idealisme dalam kebudayaan Sunda. Akibatnya, jadilah betapa sulitnya komunitas Sunda menemukan sosok-sosok yang bekerja dengan penuh idealisme dalam memajukan kebudayaan Sunda.

Berpijak pada kondisi lemahnya daya hidup dan mutu hidup kebudayaan Sunda, timbul pertanyaan besar, apa yang salah dengan kebudayaan Sunda? Untuk menjawab ini banyak argumen bisa dikedepankan. Tapi dua di antaranya yang tampaknya bisa diangkat ke permukaan sebagai faktor berpengaruh paling besar adalah karena ketidakjelasan strategi dalam mengembangkan kebudayaan Sunda serta lemahnya tradisi, baca, tulis , dan lisan (baca, berbeda pendapat) di kalangan komunitas Sunda.

Ketidakjelasan strategi kebudayaan yang benar dan tahan uji dalam mengembangkan kebudayaan Sunda tampak dari tidak adanya "pegangan bersama" yang lahir dari suatu proses yang mengedepankan prinsip-prinsip keadilan tentang upaya melestarikan dan mengembangkan secara lebih berkualitas kebudayaan Sunda. Kebudayaan Sunda tampaknya dibiarkan berkembang secara liar, tanpa ada upaya sungguh-sungguh untuk memandunya agar selalu berada di "jalan yang lurus", khususnya manakala harus berhadapan dengan kebudayaan-kebudayaan asing yang galibnya terorganisasi dengan rapi serta memiliki kemasan menarik. Berbagai unsur kebudayaan Sunda yang sebenarnya sangat potensial untuk dikembangkan, bahkan untuk dijadikan model kebudayaan nasional dan kebudayaan dunia tampak tidak mendapat sentuhan yang memadai. Ambillah contoh, berbagai makanan tradisional yang dimiliki urang Sunda, mulai dari bajigur, bandrek, surabi, colenak, wajit, borondong, kolontong, ranginang, opak, hingga ubi cilembu, apakah ada strategi besar dari pemerintah untuk mengemasnya dengan lebih bertanggung jawab agar bisa diterima komunitas yang lebih luas. Kalau Kolonel Sanders mampu mengemas ayam menjadi demikian mendunia, mengapa urang Sunda tidak mampu melahirkan Mang Ujang, Kang Duyeh, ataupun Bi Eha dengan kemasan-kemasan makanan tradisional Sunda yang juga mendunia?

Lemahnya budaya baca, tulis, dan lisan ditengarai juga menjadi penyebab lemahnya daya hidup dan mutu hidup kebudayaan Sunda. Lemahnya budaya baca telah menyebabkan lemahnya budaya tulis. Lemahnya budaya tulis pada komunitas Sunda secara tidak langsung merupakan representasi pula dari lemahnya budaya tulis dari bangsa Indonesia. Fakta paling menonjol dari semua ini adalah minimnya karya-karya tulis tentang kebudayaan Sunda ataupun karya tulis yang ditulis oleh urang Sunda. Dalam kaitan ini, upaya Yayasan Rancage untuk memberikan penghargaan dalam tradisi tulis perlu mendapat dukungan dari berbagai elemen urang Sunda. Sayangnya, hingga saat ini pertumbuhan tradisi tulis pada urang Sunda masih tetap terbilang rendah.
Source : http://tamanmini.com/

Jumat, 18 Juni 2010

"VITAZONE" Produk Minuman Isotonik Indonesia



Cairan tubuh merupakan salah satu kebutuhan tubuh yang harus diperhatikan. Cairan tubuh dan vitamin ( terutama vitamin yang sifatnya larut dalam air, seperti multivitamin B & C ) hilang dan terbuang ketika kita beraktivitas sehari-hari, sehingga diperlukannya tambahan asupan cairan tubuh dan vitamin. Terutama saat cuaca panas, berada dalam ruang ber-AC, beraktivitas olahraga berat, dan juga ketika sedang mengalami sakit. Karena pada saat tubuh dalam kondisi seperti itu tubuh kehilangan banyak cairan dan vitamin sebagai nutrisi penting, sehingga dapat menimbulkan kerusakan pada organ tubuh, terganggunya sistem kerja tubuh dan daya tahan tubuh.

Salah satu solusi praktis untuk segera mengganti sekaligus cairan tubuh dan vitamin adalah dengan mengkonsumsi minuman isotonik bervitamin. Minuman isotonik bervitamin adalah larutan yang memiliki kandungan multivitamin dan ion tubuh yang sama dengan sel tubuh dan darah sehingga cepat diserap tubuh dibandingkan air minum biasa. Sehingga cairan tubuh dan vitamin yang hilang dapat segera terganti sekaligus.


Minuman isotonik biasa hanya mampu mengganti ion tubuh namun tidak dapat mengganti vitamin yang ikut hilang. Minuman isotonik yang dapat menjawab kebutuhan ini adalah Vitazone. Mengapa Vitazone? Karena Vitazone mengandung 5 ion tubuh (Natrium, Kalium, Kalsium, Magnesium dan Klorida) yang mudah diserap dan dapat dengan cepat mengganti CAIRAN TUBUH yang hilang. Vitazone juga mengandung 6 jenis multivitamin B & C (C, B3, B5, B6, B7 dan B12) yang juga akan cepat diserap tubuh karena larut bersama dengan isotonik.

Kandungan Vitamin C dari Vitazone bermanfaat sebagai antioksidan dan membantu menjaga daya tahan tubuh, sedangkan Multivitamin B sangat bermanfaat untuk membantu metabolisme lemak dan karbohidrat menjadi energi. Komposisi ion tubuh dan vitamin Vitazone dikombinasikan secara seimbang, dan disempurnakan oleh varian rasa yang menyegarkan.

Vitazone juga diproses melalui teknologi Advanced Sterilizing Technology (AST) yaitu metode sterilisasi yang membunuh bakteri pathogene (bakteri perusak) tanpa merusak nutrisi yang dalam produk. Proses ini membuat Vitazone dapat tahan selama 12 bulan (selama segel dan kemasan botol tidak rusak) TANPA TAMBAHAN ZAT PENGAWET. Karenanya, Vitazone aman untuk dikonsumsi. Selain sertifikat halal dari MUI, Vitazone juga telah lolos uji laboratorium BPOM (Badan Pengawas Obat & Makanan).

Jadi, mulai sekarang ganti Cairan Tubuh dan Vitamin yang hilang, Sekaligus! Dengan Vitazone, Isotonik Bervitamin.