Kintunan Ti Kang Kumkum Hanum
Oray-orayan luar leor mapay sawa
Entong ka sawah parena keur sedeng beukah
Oray-orayan luar leor mapay sawah,
Entong ka sawah parena keur sedeng beukah,
Mending ge teuleum,
Di leuwi loba nu mandi,
Saha nu mandi,
Anu mandina pandeuri……….
Kok…….kok………kok…….
Sebuah entitas kebudayaan, menurut Toynbee, mengalami kehancuran karena tidak mampu lagi merespon tantangan-tantangan(challenges) zamannya. Sebagai seorang fungsionalis, Toynbee melihat kebudayaan dalam perspektif fungsional yaitu sejauh manakah kebudayaan sebuah masyarakat fungsional terhadap lingkungannya. Kebudayaan yang tidak fungsional akan mengalami krisis, terseret ke pojok-pojok sejarah dan suatu saat akan menghilang dari pusaran peradaban. Di zaman modern, tantangan serius yang menerjang daya survival entitas sebuah kebudayaan, terutama local culture –seperti kebudayaan Sunda– adalah proses modernisasi dan globalisasi. Selain kemampuan merespon tantangan zaman, survivalitas kebudayaan juga sangat ditentukan oleh daya fungsionalnya terhadap masyarakat. Dalam proses modernisasi yang makin gencar dan globalisasi yang makin kuat dan meraksasa, kebudayaan Sunda menghadapi problem yang sangat berat yaitu terseret ke dalam proses kepunahan. Bukan mustahil suatu saat akan menghilang dari khazanah kebudayaan dunia. Gejala-gejala ke arah itu tampak terus semakin menguat seperti saya uraikan panjang lebar berikut ini.
Modernisasi dan globalisasi telah menggeser kebudayaan lokal pribumi ke pinggiran budaya dan ke pojok-pojok memori kolektif masyarakat. Di satu sisi, rasionalisasi dan perkembangan iptek telah memodernisasikan kehidupan orang Sunda dan mempermudah kehidupan mereka. Tetapi resikonya pun sangat besar yaitu hancurnya pranata-pranata sosial, institusi-institusi keagamaan dan memudarnya tradisionalisme kesundaan. Ambillah sebuah contoh. Diantara identitas tradisional kesundaan yang sudah hilang misalnya adalah Kaulinan Sunda (bermacam jenis permainan khas masyarakat Sunda). Gatrik, galah, perang gobang, rerebonan, bancakan, ucing sumput, oray-orayan, bebeletokan, sorodot gaplok, sondah, perepet jengkol, beklen dan lain-lain kini hilang dilindas kebudayaan pop (pop culture) seperti ulang tahun, pesta, televisi, bioskop, VCD, mejeng di Mall, disco dan bahkan narkoba. Teknologi canggih telah menghapus khazanah kaulinan itu dan menggantikannya dengan komputer, video game, CD game dan play station. Permainan tradisional hasil kreatifitas masyarakat Sunda baheula yang dekat dengan alam dan sangat mengasyikan ketika dimainkan kini sulit ditemukan dimainkan oleh anak-anak Sunda. Kaulinan itu semua kini hanya tinggal kenangan orang-orang dewasa dan orang tua. Anak-anak sekarang –kecuali sedikit di wilayah pedesaan-pedesaan tertentu– bisa dipastikan tidak mengenal lagi khazanah permainan itu.
a
Kesenian, musik-musik tradisional dan pertunjukkan-pertunjukkan hiburan Sunda juga bernasib serupa. Reog, calung, angklung, arumba, kacapi suling, wayang, kuda lumping dan lain-lain memang masih ditemukan dalam acara-acara seremonial tertentu seperti perkawinan, sunatan, agustusan, syukuran, penyambutan pejabat dll. Tapi, tampaknya tak sulit disepakati bahwa intensitas hadirnya kesenian-kesenian itu semakin jarang dan terus berkurang. Kalau tidak ada “the saviour” dalang Asep Sunarya yang telah mereformasi wayang jauh sebelum reformasi Orde Baru, mungkin wayang sekarang sudah semakin tidak populer ditinggalkan masyarakat Sunda modern. Asep Sunarya telah menyisakan minat orang Sunda modern pada wayang pada aspek-aspek bodornya terutama pada tokoh si Cepotnya. Tapi reformasi seperti dalam wayang tidak terjadi dalam kesenian yang lain. Kesenian lawak Sunda seperti reog, calung dan angklung semakin terpojok kepinggiran dan kini sedang menghilang karena tak mampu bersaing dengan kelompok-kelompok lawak kemasan modern yang muncul di televisi. Beberapa kesenian Sunda tradisional sudah punah duluan seperti sisindiran dan gondang. Sisindiran, calung dan angklung masih ditemukan sekali-sekali ditayangkan TVRI Bandung, tapi penampilan acara-acara tradisional di TV tak lain hanya sebagai komoditi pariwisata yang kemunculannya karena pesanan, rekayasa, dan formalitas.
Visualisasi itu sendiri sesungguhnya sudah merupakan the formed reality (realitas bentukan) yang ketika ditonton statusnya bukan lagi a living reality (realitas sungguhan) yang inherent menjadi bagian dari aktivitas kesenian masyarakat Sunda sehari-hari. Hal itu terjadi karena daya fungsional dari kaulinan, seni dan musik Sunda tersebut semakin berkurang dan kehilangan relevansinya. Kebudayaan Sunda telah kalah dalam kompetisi menciptakan addictive game dengan permainan-permainan modern. Dengan kata lain, tradisionalisme Sunda tidak sanggup membuat dirinya tetap dirasakan fungsional. “Kehilangan fungsi” itu dimungkinkan karena kebudayaan Sunda tidak mampu mengejar dan memenuhi citra masyarakat Sunda yang telah tertransformasikan oleh proses modernisasi. Modernisasi telah menyebabkan perubahan-perubahan dalam masyarakat termasuk perubahan dalam hal citra dan selera. Citra dan selera modern urang Sunda yang telah berubah ini tidak lagi ditemukan dalam kebudayaan Sunda tradisional yang kini sedang mengalami kepunahan itu. Citra dan selera modern (Barat) itu kini ditemukan dalam pop culture seperti disuguhkan acara-acara televisi: nge-fans kepada kelompok-kelompok band musiman, film-film, telenovela, MTV, acara-acara gosip artis dan pemujaan gaya hidup selebritis, yaitu gaya hidup rubbish (sampah) yang banyak dipuja para remaja ABG yang tidak dididik pendirian dan keyakinannya.
Lunturnya Penggunaan Bahasa Sunda
Sudah menjadi cerita lama bahwa bahasa Sunda adalah diantara pelajaran yang tidak menarik dan dianggap “kurang penting” bagi siswa-siswa di sekolah-sekolah. Undak-usuk membuat pelajaran bahasa Sunda sulit dikuasai. Minat para siswa dan generasi muda pada umumnya terus berkurang. Karena problematika ini sudah berjalan beberapa generasi, maka yang dirasakan kini adalah semakin langkanya guru bahasa Sunda yang qualified. Sastrawan Sunda apalagi. Kita hanya mengenal sedikit tokoh seperti Rustandi Kartakusumah, Wahyu Wibisana, Ki Umbara, Apip Mustopa, Ajip Rosidi, Ningrum Julaeha, Usep Romli HM, Min Resmana, Hidayat Suryadilaga dll. Sebagian usianya sudah pada tua dan sebagian lagi sudah meninggal dunia. Memang kini bermunculan sastrawan-sastrawan muda seperti Godi Suwarna, Cecep Burdansah, Tatang Soemarsono, Darpan Ariawinangun, Budy Rahayu Tamsah, Usman Supedi dll tetapi jumlah itu masih jauh dari harapan.
Di daerah-daerah urban, lingkungan masyarakat terdidik dan kelas menengah di Jawa Barat, tumbuh subur dewasa ini suatu proses desundanisasi bahasa, yaitu suatu kecenderungan, trend, gaya dan mode dimana keluarga muda Sunda modern tidak menggunakan basa Sunda sebagai bahasa pengantar di lingkungan rumah dan keluarganya (jujur termasuk penulis sendiri sebagai korban). Keluarga Sunda modern tidak berbahasa Sunda kepada anak-anaknya, dan anak-anakya tidak berbahasa Sunda kepada teman-teman mereka. Mereka lebih memilih bahasa Indonesia yang dirasakan lebih modern. Di kalangan keluarga-keluarga muda, ibu dan bapaknya menerapkan panggilan diri oleh anak-anaknya dengan panggilan “papih-mamih,” “papa-mama,” atau “ayah-ibu.” Tentu saja, panggilan-panggilan itu lebih bernuansa modern ketimbang “abah-ambu,” “emih-apih,” “ema-apa,” “abi-umi” atau “indung-bapa.” Penggunaan basa Sunda (terutama yang halus) semakin lama semakin berkurang. Pada lingkungan pergaulan tertentu seperti di hotel, kantor-kantor, pertemuan resmi pesta-pesta dan pertemuan-pertemuan elit lainnya, berbahasa Sunda cenderung dirasakan “kurang modern.” Gejala ini tertangkap misalnya pada ungkapan yang sering terdengar bahwa“lamun urang Jawa ngumpul pasti ngomong Jawa bari teu ngarasa karagok, tapi lamun urang Sunda ngumpul biasana teu ngaromong Sunda lantaran ngarasa era.” Berbahasa Sunda dalam pergaulan resmi sering dirasakan “kurang menasional” dan “asa teu modern.”
Tentu saja ini tidak terjadi pada semua orang Sunda. Saya sendiri adalah orang Sunda yang paling tidak suka berbahasa Indonesia bila ngobrol dengan seseorang yang saya ketahui aslinya orang Sunda, dimanapun saya berada. Ketika dua tahun di Australia (1997-1999), saya “sagulung sagalang” dengan Yudi Latif. Saya tidak berbahasa Indonesia dengan dia, selalu Sunda. Terasa akrab asa jeung dulur. Ada kenangan lucu. Dalam sebuah bursa buku murah di Albert Hall, saya berburu buku-buku second hand dengan Yudi, rebutan paloba-loba. Saat saya bicara ngagorowok padanya memakai bahasa Sunda loma, rupanya ada bule asal Eropa memperhatikan. Karena terdengar aneh, dia penasaran dan bertanya: “Excuse me, can I ask you. What’s language are you talking?” Senang sekali mendapat pertanyaan itu, bahasa saya menarik perhatian orang. Saya jawab saat itu denganheureuy: “Bahasa Sunda belegug!!” Dia celingukan tak mengerti. Yudi ketawa mendengar jawaban saya. Lalu saya jelaskan tentang bahasa Sunda, bahasa daerah asal saya.
Walau tidak semua orang Sunda melupakan bahasanya, tetapi kecenderungan umumnya seperti itu. Di banyak pertokoan, departemen store dan mall-mall di Bandung dan di kota-kota Jawa Barat, penulis sering menyaksikan transaksi antar pembeli dengan pramuniaga atau kasir dengan bahasa yang ironis menusuk telinga:“Mbak-mbak kalau yang ini berapa ya?” atau “Mbak, mbak, kalau bayarnya pake kartu kredit bisa gak?” Atau “Mas, silahkan pilih-pilih, banyak produk baru lho Mas!” Padahal, setelah saya tanya, ternyata mereka yang dialog itu orang Cianjur dengan orang Tasik, orang Bandung dengan orang Garut, Orang Ciamis dengan orang Bogor, Orang Purwakarta dengan orang Subang dan seterusnya. Begitu keselnya, saya sampai sering menegur mereka untuk memakai bahasa Sunda saja. Dalam hati saya hayang neke!! Kesadaran kultural saya mengatakan tidak pantas dan telinga saya berdengung mendengar percakapan antar orang Sunda tapi dengan “Mas” dan “Mbak.” Kita membutuhkan program besar yaitu “Program Sadar Sunda” di masyarakat kita di Jawa Barat.
“Proses kepunahan” bahasa Sunda ini diperkuat oleh struktur basa Sunda sendiri yang feodal. Undak-usuk basa Sunda yang sangat struktural, birokratis dan feodal, rumit dan bertahap-tahap sangat sulit dikuasai oleh orang Sunda dari zaman ke zaman, apalagi oleh generasi muda kini yang terdidik dalam lingkungan pendidikan modern. Undak-usuk sangat bersebrangan dengan arus dan tuntutan demokratisasi dan egalitarianisasi masyarakat. Sopan santun sebagai etika tentu saja harus tetap dipelihara tetapi tidak dibingkai dan distrukturkan dalam semangat feodal. Feodal adalah penghormatan kepada orang karena perbedaan usia dan kedudukan. Undak-usuk perlu direformasi dan konsep sopan santun perlu dirubah dimana penghormatan diberikan bukan hanya karena usia melainkan karena prestasi dan kualitas.
Miskinnya Historiografi Sunda
Alam Sunda adalah alam pegunungan yang subur. Karena kesuburan alamnya ini, mayoritas masyarakat Sunda menyandarkan hidupnya pada usaha bertani di huma. Sebagai petani, mereka menggantungkan nasib sepenuhnya pada kebaikan alam yang memberikan hujan dan panas. Kesuburan alam dan ketergantungan ini, setelah berevolusi beratus-ratus tahun, membentuk suatu sikap mental dan prototipe khas masyarakat agraris yang cenderung pasif, malas, kurang inovatif, kurang kerja keras, kurang bervisi ke depan dan tidak berwawasan global karena alam telah menyediakan, memberikan dan memudahkan segalanya. Eksplanasi logika alam ini menjelaskan sejarah masyarakat Sunda sendiri.
Secara historis, sejarah Sunda –dibandingkan Jawa misalnya– adalah sejarah yang kalah. Kerajaan-kerajaan Sunda seperti Tarumanegara, Galuh, Padjadjaran dan Sumedang Larang, adalah kerajaan-kerajaan lokal dan tidak ekspansionis sehingga tidak memiliki supremasi besar seperti luasnya pengaruh dan banyaknya taklukan kerajaan-kerajaan lain. Kerajaan Sunda adalah taklukan kerajaan Madjapahit, Mataram dan Demak. Identitas asli kebudayaan Sunda pun karam dalam hegemoni kebudayaan yang lebih besar seperti Jawa, Islam dan Barat. Seorang sejarawan Belanda, Hans Kahler, menulis bahwa sejak dikalahkannya Sunda oleh Madjapahit, sejak itu Sunda menghilang dari sejarah dan berganti identitas menjadi Sunda Islam sejak 1526. Kerajaan Sunda Islam seperti Banten dan Cirebon pun tidak pernah menjadi besar dalam artian politik kecuali luasnya pengaruh agama dan perdagangan. Kondisi prihatin ini didukung oleh sangat sedikitnya historiografi Sunda, baik yang ditulis orang Sunda sendiri, apalagi sejarawan asing, terutama bila dibandingkan dengan Jawa. Tampaknya, eksistensi kebudayaan Sunda yang kalah ini kurang menarik minat sejarawan terutama sejarawan asing untuk mengungkap sejarah Sunda, seperti ketertarikan mereka yang luar biasa pada sejarah kebesaran Jawa.
Dalam studi sejarah dan kebudayaan Jawa dikenal nama-nama kondang seperti Raffles, C.C. Berg, H.J De Graaf, Pigeaud, Teeuw, Ben Anderson, Emmerson, Clifford Geertz dll yang telah melahirkan karya-karya master piece-nya tentang Jawa. Karya-karya mereka tersebut kini telah menjadi klasik. Literatur tentang Jawa, berbeda dengan Sunda, karenanya sangat banyak dan mudah didapat. Memang Sartono Kartodirdjo menulis Pemberontakan Petani Banten 1888, Van Dijk menulis sejarah pemberontakan Darul Islam (DI), Karl D. Jackson menulis Traditional Authority, Islam, and Rebellion (1980) tentang Sunda dan pemberontakan DI, Hiroko Horikoshi menulis Ulama dan Perubahan Sosial tentang Pesantren di Garut, sebuah buku yang dimaksudkan untuk mengkonter The Religion of Java-nya Geertz. Yang lainnya, banyak buku-buku tentang sejarah Cirebon dan Banten. Tetapi tampaknya, sumbangan dan stressing buku-buku itu bukan pada kekayaan khazanah budaya Sunda atau mengangkat citra bahwa studi Sunda adalah penting sepenting studi tentang Jawa untuk memahami Indonesia sekarang. Lain kata, buku-buku itu tidak disebut-sebut dan masuk dalam literatur baru studi-studi Sunda, tetapi yang menonjol adalah sumbangannya terhadap studi politik, sosiologi, antropologi dan sejarah lokal di Indonesia.
Miskinnya historiografi Sunda mengandung logika dan pesan historis(ibrah, historical message) bahwa sumbangan kelompok etnis ini pada sejarah dan kebudayaan nasional seolah kecil dan kurang berarti dalam politik dan kebudayaan. Istilah-istilah “kenegaraan” yang diabadikan menjadi istilah-istilah nasional resmi seperti Pancasila, Negara, Bina Graha, Eka Prasetya Pancakarsa, Sapta Marga, Istana, Tut Wuri Handayani, Tri Dharma dan seterusnya dipandang sebagai sumbangan konsep-konsep Jawa dalam kebudayaan politik nasional. Sistem-sistem politik Orde Lama, Orde Baru dan sistem Pancasila yang dibangun atas “faham kekuasaan Jawa” juga menunjukkan sumbangan besar Jawa dalam pemikiran sistem politik kenegaraan Indonesia. Hal ini masih juga ditambah dengan kuantitas orang-orang Jawa yang menjadi pemimpin nasional dibanding orang Sunda.
Apabila sejarah Sunda yang sebenarnya cukup dikenal dan memiliki posisi penting dan identitas yang jelas dalam percaturan sejarah, politik dan kebudayaan nasional di masa lalu hanya terekam sedikit saja oleh historiografi nasional, apalagi sejarah dan kebudayaan Sunda modern yang semakin blur (samar-samar), kehilangan identitas dan jatidiri ditelan modernisasi dan globalisasi. Bila selama ini ada beberapa pernyataan optimis dari para juragan dan inohong Sunda bahwa kebudayaan Sunda akan bertahan dalam proses globalisasi, maka yang dimaksud sebetulnya adalah masih adanya “sisa-sisa” kebudayaan Sunda yang terlihat pada event-event tertentu, atau pada usaha-usaha mempertahankan budaya lewat pertunjukkan-pertunjukkan formal, rembukan-rembukan formal tentang seni, sastra dan kebudayaan Sunda, bukannya merujuk pada kebudayaan riil (nilai-nilai, pandangan hidup, identitas budaya, gaya hidup) yang aktual hidup di tengah-tengah masyarakat.
Dari ketiga contoh kasus tersebut, nampak bahwa kebudayaan Sunda tengah mengalami proses desundanisasi yang dahsyat. Proses ini suatu saat bukan mustahil akan berakibat pada punahnya kebudayaan Sunda di masa mendatang. Kepunahan ini bakal terjadi bila kebudayaan Sunda semakin kehilangan daya fungsionalnya di tengah-tengah masyarakat Sunda kontemporer. Kehilangan daya fungsional budaya ini ditunjukkan oleh sikap dan kenyataan bahwa generasi muda Sunda merasa tidak perlu lagi ber-Sunda untuk hidup di zaman modern ini. Generasi Sunda modern sekarang merasakan kesundaan identikan dengan tradisionalisme dan ketertinggalan. Dengan kata lain, dari perspektif Toynbee-an, kebudayaan Sunda kehilangan elan vital dan daya responnya atas challenge yang dimunculkan oleh proses modernisasi dan globalisasi. Secara fisikal, urang Sunda tentu akan tetap ada menghuni kawasan yang disebut Jawa Barat ini, tetapi secara kultural mereka telah kehilangan jatidirinya sebagai urang Sunda dan tidak lagi mengekspresikan identitas kebudayaannya. Kepunahan budaya bukan hal yang mustahil, maka adalah tugas para inohong, pemikir, pemerintah dan elit Sunda untuk memikirkan suatu strategi budaya agar kebudayaan Sunda bisa tetap bertahan dalam arus perubahan dan tantangan zaman, agar kesundaan tetap identik dengan kemajuan dan kemodernan. Konferensi Internasional Budaya Sunda (KIBS) tahun 2001 yang lalu adalah sebuah langkah awal yang bagus. Langkah-langkah konkret dan strategis lainnya semoga terus bermunculan.
Amin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar